Mengapa saya
harus menulis? Menulis, bukan sekadar menyusun rangkaian kalimat apik, yang
kemudian mengharapkan puja dan puji dari orang-orang. Menulis, merupakan terapi
tersendiri bagi saya sendiri, yang kala itu mencari jati diri. Kok bisa? Ya. Mungkin
antara tahun 1999 – 2001, kala itu saya sedang menempuh pendidikan yang jauh
dari orang tua. Antara kesal, sedih, cemas, rindu, senang, gembira, rasanya bercampur
menjadi satu. Saya hanya perlu satu kegiatan untuk menumpakan ini semua, tanpa
diketahui orang lain.
Akhirnya, berbekal
uang beberapa ribu, saya menuju Gramedia di tengah kota besar itu. Saya
menemukan dan akhirnya membeli buku terjemahan dari seorang penulis Barat, sampulnya
berwarna pink. Tapi sayangnya, saya lupa judul bukunya, hehe. Buku itupun
menuntun saya untuk belajar menulis, terutama menuliskan rasa yang terpendam
dalam diri saya, dimulai dari hal-hal yang kecil. Buku ini sangat membantu
saya, karena benar-benar mengajarkan saya untuk jujur dengan diri sendiri. Semacam
journalling, atau menulis diary. Akan tetapi, lebih banyak ke checklist-checklist
dan isian tentang perasaan saya ketika dihadapkan oleh suatu kejadian atau
situasi. Oiya, waktu itu saya masih duduk di bangku SMA.
Satu
hal lain yang saya temukan dalam perjalanan panjang saya menulis adalah, membantu menemukan jati diri. Meskipun dalam
hal ini saya hanya membaca artikel dalam sebuah majalah, merangkum, dan
menuliskannya dalam buku tulis yang kemudia saya warna-warnai. Mungkin ada
beberapa teman-teman yang masih ingat dengan majalah An-Nida, Ummi, dll. Proses
menulis disini ternyata membantu saya untuk berdialog dengan diri sendiri.
Antara menuliskan sesuai teori, dan membuat saya berfikir tentang apa yang saya
tuliskan itu.
Kedua
pengalaman ini membawa kenangan bagi saya saat ini. Di usia yang tidak lagi muda,
saya suka melihat pemuda-pemudi yang rajin menulis. Menulis konten di blog,
instagram, facebook, ataupun hanya sekadar menulis status, hehehe. Saya merasa
jika budaya menulis dan membaca ini mengakar di pemuda Indonesia pada umunya,
saya bisa berpikir optimis bagi masa depan Indonesia sekian tahun mendatang.
Bagaimana
saya mengenal Komunitas One Day One Post? Sebelumnya, saya telah mem-follow
beberapa komunitas serupa. Seperti, One Day One Juz dan One Week One Book. Mirip
nggak sih? Iyaa mirip, meskipun isinya beda banget, hehe. Dan karena saya iseng-iseng
di IG, sayapun menemukan komunitas ini. Waktu itu saya memang berniat mengikuti
beberapa challenge. Karena saya perhatikan komunitas ini tidak sedang melakukan
rekrut anggota, sayapun mengikuti challenge menulis laian yang kurang lebih
sama dengan komunitas ini, hanya saja berbayar. Dan akhirnya, sampailah pada
bulan ini, dimana oprec komunitas ini terbuka, dan saya ingin mencoba, hehehhe.
Setelah
saya mencoba mendaftar komunitas ini, ada beberapa alasan mengapa saya ingin bergabung
dengan komunitas ini. Pertama, menambah teman dan jaringan, tentu saja. Kedua,
ingin belajar dari teman-teman yang lebih berpengalaman dalam hal menulis dan optimalisasi
blog. Ketiga, mengasah kembali kemampuan saya dalam menulis yang sangat cetek
ini. Dan terakhir, semoga semua yang saya mulai ini dapat saya akhiri dan bukan
merupakan suatu keburukan. Aaamiin…. Di masa depan, jika saya diperbolehkan
bermimpi, mungkin saya bermimpi ingin menjadi penulis yang memiliki ilmu dan
dapat menuliskan hal-hal yang bermanfaat.
Teruslah menulis sampai ga ada lagi yang bisa ditulis
ReplyDeleteMantab Mbaa..
DeleteWaah majalah Ummi tuh dulu langganan ibuku hehe
ReplyDeleteAku juga mulai nulis karena susah mengungkapkan lewat kata-kata, enak lewat tulisan gini
Betul Mbaa, kalau jaman dulu nulis buku diari ya mba
Delete