Ganti Judul dan ALt sendiri

Memilih Jalan Lain

  

 
    Dulu sekali, saya pernah mengalami masa-masa dimana, hidup seseorang akan ditentukan oleh perjalanan dan pendidikannya. Bersekolah di tempat yang bagus, mencari universitas terbaik, dan mendapatkan pekerjaan yang terjamin. Duh, mainstream sekali ya. Lalu, ingatan sayapun kembali terpaku pada seorang guru bahasa Indonesia di kala SMA. Beliau adalah bapak asli Surakarta, yang mengajarkan Bahasa Indonesia tetapi seringkali memasukkan pemikiran-pemikiran di luar dugaan. Kata beliau, ketika nanti kalian sudah selesai SMA, masuk dan carilah universitas sendiri, lalu cari pekerjaan kalian sendiri. Jangan mengandalkan orang tua, beasiswa, atau kemudahan. Cari hal-hal yang menantang. 
    
    Ketahanan seseorang pada sebuah kesulitan, ternyata membuat orang itu menjadi kuat, dan itu yang membuat berbeda. Lalu, diapun menyampaikan, mungkin ada beberapa sekolah kedinasan yang menjanjikan masa depan yang didamba-damba banyak orang. Bisa saja orang itu masuk, tapi masa depannya seperti sudah bisa ditebak. Ia lulus dari sekolah tersebut, bekerja, dan seterusnya.

    Dari pemikiran guru saya tersebut, rupanya ada benarnya. Dari beberapa orang yang saya perhatikan, ternyata karakter orang-orang yang dulunya bertahan di dunia luar yang penuh ketidakpastian, dengan orang yang memiliki jalan yang halus mulus, ternyata berbeda. Mereka yang menemukan passion-nya sendiri, lebih mampu bertahan. Dan orang-orang yang melalui jalan mulus tadi, tak sedikit yang akhirnya memilih jalan lain. Ada yang akhirnya burn out, dan memilih jalannya sendiri. Untuk itu, kita mungkin telah mengenal istilah pensiun dini, resign, dan sebagainya.

    Ya, kita memang tidak harus menjadi seperti kebanyakan orang. Kita bisa memilih jalan lain. Kita tidak harus menjadi orang yang sudah bisa ditebak bagaimana jalan ceritanya. Kita bisa menjadi berbeda, sesuatu versi kita sendiri. Kenapa harus sama, kalau perbedaan bukanlah larangan.
Sama seperti suatu ketika, masa dimana sebuah pendidikan adalah sebuah tolok ukur. Waktu itu, saya merasa saya dan teman-teman saya seperti berada dalam sebuah arena, yang siap-siap untuk bertanding dan lari sekencang-kencangnya. Siapa yang paling di depan, maka ialah pemenanngnya. Tetapi, setelah sekian tahun, saya menyadari, itu salah. Hidup itu bukan sekedar arena perlombaan. Kita tidak bisa menilai kesuksesan orang hanya dari tampilan luarnya saja. Apakah sudah menikah, apakah sudah memiliki rumah, apakah memiliki bisnis. Ah, itu hanya duniawi saja.
  
     Setelah sekian tahun saya menyadari itu, sayapun tersadar bahwa memilih jalan lain bukanlah hal yang salah. Melihat kembali ke diri kita, apa yang sebenarnya kita butuhkan, dan apa yang sebenarnya kita inginkan. Memetakan kembali apa tujuan hidup kita yang ingin kita capai. Jika melihat pencapaian orang lain yang luar biasa, kita bisa saja terinspiraasi. Tapi bukan berarti, kita harus sama plek seperti dia. Kita punya kapasitas masing-masing, dan kita punya prioritas masing-masing. Kita, berbeda. Bukan untuk saling memamerkan, tetapi kita harus saling mendukung. Karena hakikatnya manusia adalah makluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri.

4 comments