Bahagia, sepertinya telah
menjadi sesuatu yang sangat diinginkan dari semua orang. Seperti apa
kebahagiaan, akan sangat tergantung dari perspektif masing-masing orang. Kalau Ketika
masa kanak-kanak, kita sering mendengar sebuah lagu berikut:
If
you’re happy and you know it, clap your hands.
Jika
kamu Bahagia, dan kamu tahu itu, bertepuk tanganlah.
Ya, kita dapat membayangkan anak-anak akan bahagia dengan
semudah itu kita bahagia. Tapi yang menjadi penting adalah, untuk mengetahui
kita bahagia atau tidak akan menjadi PR kita dalam mengenali diri.
Jika berdasarkan teori mengenai kebahagiaan, ada banyak
sekali aliran yang menyatakan seperti apa kebahagiaan. Seperti dikuti dari buku
The Secret of Happiness karya Richard Schoch, teori kebahagiaan salah satunya
disampaikan oleh Epicurus (341-271 SM), seorang filsuf Athena kuno, suatu ketika
berceramah di pasar terbuka kota itu, agora, bahwa sumber utama kebahagiaan
adalah kepuasan. Dalam Bahasa Yunani kuno, kepuasan adalah hedone, yang merupakan
asal kata modern dari hedonis. Menururt Epicurus, kepuasan, yang merupakan
kunci kebahagiaan, haruslah menjadi tujuan paling utama dari semua tindakan,
apapun yang kita lakukan adalah demi kepuasan.
Sebagai seorang Muslimah, saya rasa kepuasan merupakan
sesuatu yang relatif. Kepuasaan adalah tolak ukur yang menjadi berbeda-beda
tergantung suasana hati kita di suatu waktu. Dan, jika dipikir-pikir, kepuasaan
manusia itu tidak ada batasnya.
Sebetulnya apa saja langkah kita untuk menuju kebahagiaan? Menurut
saya, dengan melakukan 8 (delapan) langkah ini, kita bisa mencapai kebahagiaan:
Menerima dan mensyukuri apa yang kita
punya
Ini
adalah cara yang paling mudah untuk bahagia. Kita hanya perlu mengakui apa saja
yang kita miliki sekarang, dan menerima keadaan yang tidak kita punya. Berusaha
untuk menerima keadaan kita sekarang, sebetulnya bukan hal yang mudah. Kita
tidak bisa memilih dilahirkan oleh siapa. Kita tidak bisa memilih kita
dilahirkan kaya atau miskin. Kita tidak bisa memilih takdir kita. Tapi kita
bisa menerima semua keadaan itu dengan tulus ikhlas. Dan inilah yang akan
membuat kita menjadi bahagia.
Tidak mencela orang
lain meskipun hak kita berkurang
Kadang
kala, kita menjadi sangat itungan. Baik dalam hal pendapatan, hubungan dengan orang
lain, ataupun dalam keterikatan atas janji-janji. Sangat sedikit dari kita yang
bisa menerima apa yang “kurang” dari pemberian atau perilaku orang lain dengan legowo.
Kadang, hanya kurang satu detik saja, pertemuan dengan teman kita, kita sudah ngomel-ngomel.
Atau, kurang seribu saja kembalian kita dari pemilik warung, kita sudah cemberut.
Padahal, terlalu detail dengan semua itu akan membuat kita stres.
Memberi meskipun kekurangan
Kalau
dalam kondisi kita banyak harta, berlebih,rasanya akan lebih mudah untuk
bersedekah kepada orang lain. Tetapi, dalam masa pandemi seperti ini, dimana sebagian
orang merasa kekurangan, akan sulit rasanya untuk berbagi. Nah, kaitannya
dengan kunci kebahagiaan, sedikit apapun harta yang kita punya, cobalah untuk
menyisihkan uang yang akan kita berikan kepada orang lain, meski hanya seribu
(receh). Jika ini kita lakukan secara konsisten setiap hari, cobalah rasakan
akan manfaatnya. Uang yang biasanya hanya kita berikan kepada tukang parker,
jika terkumpul dalam jumlah banyak masyaallah akan sangat bermanfaat untuk
orang yang sedang membutuhkan. Lalu, akan kita berikan kepada siapa?
Seribu
yang kita kumpulkan dalam tiga setengah bulan, akan menjadi pulsa yang akan
dipakai oleh seorang ibu yang tidak punya suami yang harus menghidupi anaknya
untuk bersekolah secara online. Atau, bisa jadi beras 10 kg yang kita berikan
kepada tetangga yang lebih sering berpuasa senin kamis karena tidak punya
apa-apa.
Berdzikir kepada Allah
Ketika
kita dirundung masalah, banyak musibah dating silih berganti, bagi umat muslim
sudah diberikan jawabannya dalam kitab suci al-quran. Bahwa, dengan mengingat
Allah, hati menjadi tentram. Pernah ngga sih kalian merasa, terlalu banyak
menonton tv, atau terlalu sering live streaming menonton video di youtube,
lalu merasa hampa?
Dan seketika merasa sejuk ketika mendengar podcast seorang ustadz yang menyejukkan. Disitulah, memang fitrah kita akan menunjukkan jalan yang benar.
Saya
terkadang banyak berfikir, dan kepo, akan akun-akun para pemilik bisnis yang
keren di Instagram. Seringkali, bisnis mereka diiringi dengan kegiatan sosial.
Pernah pandangan saya tertuju pada sebuah akun Instagram, yang di usianya yang
masih sangat muda, ternyata memiliki taman bacaan di daerah terpencil di pulau
Flores. Atau, akun Instagram yang lain yang menyatakan bahwa, seluruh
keuntungan akan diberikan kepada orang yang membutuhkan. Kemudian, saya
berfikir bahwa memang bukan lagi saatnya orang yang telah selesai dengan
dirinya sendiri itu, ia berbagi dengan orang lain. Entah berdonasi, mendirikan
taman bacaan, menjadi doantur tetap, atau kebaikan-kebaikan lainnya yang bisa
membuat orang lain bahagia.
Saya
yakini memang ini tidak mudah. Untuk bisa tersenyum dalam keadaan yang
baik-baik saja, akan mudah. Tapi, tersenyum Ketika kita mengalami kemalangan?
Akan menjadi sulit. Padahal ini juga merupakan kunci kebahagiaan bagi kita.
Dalam
sebuah rapat, saya ingat betul perkataan seorang bendahara kantor, bahwa kunci
agar semua keuangan berjalan baik adalah, menyederhanakan keinginan ketika
ingin melaksanakan kegiatan. Inipun saya analogikan dalam kehidupan.
Seringkali, ketika kita memiliki pendapatan yang lebih, akan diikuti pula
dengan peningkatan life style. Gaya hidup kita pun ikut meningkat. Lalu Ketika
kita nggak bisa mencapai sesuatu yang di atas keinginan, kita menjadi sedih. Seperti
pemikiran Fumio Sasaki, mengatakan bahwa orang kaya pun, hanya makan sebanyak
tiga kali sehari. Bukan berarti ketika uang kita banyak, kita makan 10 kali
sehari bukan? Atau, jam tangan yang kita miliki sehagra 5 juta misalnya, akan
sama fungsinya dengan jam tangan 15 ribu yang kita beli di Pasar Senen. Dan
fungsinya masih sama, yaitu menunjukkan waktu setempat.
Pernah nggak sih, kita nyuci
piring tidak dengan cemberut? Atau, menyapu halaman dengan bahagia? Atau
beres-beres rumah dengan disertai doa? Ya. Melakukan house chores, bagi
kebanyakan orang menjadi hal yang membosankan. Tapi, pernahkah kita berfikir,
bahwa jika kita melakukan hal-hal yang kecil ini dengan hati, akan menjadi hal
yang membahagiakan.
Post a Comment