Ganti Judul dan ALt sendiri

Ruminten (Episode 5)

     

Waktu menunjukkan pukul 18.30, Ruminten masih berada di kota kecil Lebong, berdua dengan Santos. Ia bingung apakah mau menginap di sana saja, atau melaju untuk kembali ke Kepahiang. Jikalau dia mau melaju, perjalanan dari Lebong ke Kepahiang memaakan waktu setidaknya lima jam. Itupun harus melewati hutan di kanan kiri. Belum kalau ada cerita-cerita yang kurang mengenakkan di perjalanan jika harus berdua saja dengan Santos, juniornya.

    "Jadi gimana, Mbak, mau menginap saja?, tanya Santos.

    "Kayaknya terlalu riskan kalau kita balik ke Ujan Mas, ya? Boleh deh dicariin penginapan, Santos. Tapi aku nggak mau yang mewah, ya. Aku mau yang lokal saja, kalau bisa yang disediakan penduduk setempat.", jawab Rum.

    Setengah jam mencari, akhirnya Santos menemukan penginapan yang tepat untuk Ruminten. Santos memilih untuk tidak menginap di hotel, tetapi menumpang di rumah temannya yang bekerja di Kementerian Agama Kabupaten Lebong.

    "Mbak, aku pergi dulu ya. Kalau butuh apa-apa, telepon atau wa saja ya Mbak. " ucap Santos sebelum meninggalkan Ruminten sendirian di penginapan Mawar di Lebong. Penginapan itu merupakan penginapan kecil yang dimiliki oleh penduduk lokal. Ia memang tidak suka yang mewah-mewah. Selain hemat, ia bisa lebih membumi dengan penduduk setempat.

    Kamar yang disewakan ini berukuran 3x2,5 meter. Cukup untuk Ruminten membuka laptop dan menyiapkan untuk esko hari, serta beristirahat. Kali ini, ia ingin duduk sebentar di ruang luar, dan bercakap-cakap dengan pemilik penginapan itu.

    "Jadi ibu sudah lama membuka penginapan ini, Bu? Rumahnya nyaman, homey banget Bu"

    "Iya, Nak. Nenek membuka ini sudah lebih dari tiga puluh tahun. Tapi hampir separuhnya nenek mengurus ini sendiri. "

    "Kenapa sendirian, Nek?"

    "Suami dan anak dan menantu nenek dulu bekerja di ladang, Nak. Tapi sudah lima tahun ini meninggal di perkebunan di Kepahiang. Kalau ingat itu nenek jadi sedih, hidup nenek seperti sudah tidak ada harganya. Tapi, nenek harus tetap mengurus rumah ini, karena ini satu-satunya peninggalan kakek ", tandas nenek.

    "Aduh, maafkan saya ya Nek. Saya tidak bermaksud menyinggung pengalaman sedih nenek.", ucap Ruminten.

    Karena merasa bersalah dengan nenek pemilik penginapan itu, akhirnya Rum kembali ke kamarnya. Direbahkannya tubuhnya ke atas kasur yang lumayan empuk. Ia mencoba untuk menutup mata dan beristirahat, tetapi kemudian teringat akan satu hal.

    "Lima tahun lalu, kematian anak dan cucu Nenek. Sss... lima tahun lalu? Kepahiang?"

    Jiwa penasarannyapun muncul kembali. Tetapi ia ingin kembali melupakan. Ah, jadi bingung jadinya. Antara tidur atau terjaga? Akhirnya dia memilih untuk tidur. Tetapi sebentar, tadi kan dia belum shalat Isya?

***

Dia berjalan melewati beberapa kamar-kamar yang terbuat dari kayu. Rumah itu mirip dengan rumah kontrakannya yang di Ujan Mas. Untuk mencapai kamar mandi atau sumber air ia harus keluar penginapan. Begitu tiba ti sumber air, ia melihat halaman berwarna cokelat yang terlihat seperti gundukan. Seseorang yang bertubuh bungkuk mendekati gundukan itu, berdiri dan sedikit mengarah ke duduk.

    "Nek....", Ruminten cepat mengenali.

    "Nek...", panggilan kedua Ruminten untuk nenek. Karena ia ingat betul, orang yang berdiri itu adalah nenek yang mengajaknya bercakap tadi di ruang tamu penginapan mawar.

    "Nek... ini Rum....", tandas Ruminten berkata kepada nenek tua tadi.

    Apa yang terjadi? Seorang nenek berwajah menyeramkan menoleh ke arah Rum. Bajunya sama, jaketnya sama. Gaya rambutnya pun sama. Tetapi terlihat wajah lebam kemerahan mengahdap arah Rum sambil tersenyum.

    "Astaga... astaghfirullahadzim... Ne... nee... neneeek....." Rum menjawab sambil kebingungan. Ia tidak mengira jika wajah nenek menjadi seperti itu. Apakah nenek itu hantu? Mengapa nenek menjadi seperti itu? Ia mundur dan kembali ke kamarnya. Ia tidak mau memastikan siapakah nenek tadi. Tetapi ia merasakan sungguh hal di luar dugaan. Dengan tangan yang terburu-buru ia mengemasi barang, meraih semua barang yang diambil lalu sebisa mungkin kabur dari penginapan itu. Ya, ia harus cepat-cepat takut hal buruk terjadi.

***

    Dengan berlari tergopoh-gopoh dan nafas ngos-ngosan. Ruminten pun berhasil menjauhi penginapan tadi. Untung saja, handphone-nya tetap berhasil dia bawa. Ia lalu segera menelpon Santos, menelon dan meminta pertolongan.

    Tanpa disadari, jam sudah menunjukkan pukul 21.30, itu artinya sudah memasuki malam hari. 

    "Ya Allah, aku belum salat...." ia bergumam sendiri, sambil terus berusaha menghubungi Santos. Dua sampai tiga kali ia menelepon Santos, tetapi Santos tidak mengangkat. Iapun berjalan kecil menyusuri kota di Lebong itu, sampai akhirnya menemukan warung kecil dan ada bapak-bapak yang duduk ngopi di depannya.

    "PP.. Pak... bolehkah saya bertanya?" tanya Rum kepada bapak-bapak itu.

    "Ambo tadi nginap di penginapan Mawar, tapi ada hal aneh, Pak."

    "Oh, adek datang darimano? Dari luar Lebong, yo?", jawab Bapak-bapak itu.

    "Iyo, Pak, kami dari Kepahiang. Ada dinas di sini. tapi karena sudah malam, saya nginap saja, karena kalau nglaju lama dan ngeri di jalan Pak."

    "Oh, gitu. Yo sini Nak, duduk dulu sajo. Adek nunggu sapo?", tanya Bapak-bapak yang bersarung sambil membawa kopi.

    "Iya, Pak. Nunggu balasan teman sudah saya hubungi."

    Akhirnya Rum pun menunggu di warung kecil itu. Ia kesal dengan Santos, kenapa tidak juga membalas telepon atau chatnya. Waktu menunjukkan pukul 22.00 waktu indonesia bagian Lebong.

    "Sepertinya teman saya belum membalas, Pak. Saya numpang disini sebentar ya Pak." permintaan Rum kepada bapak tadi.

    "Nak, kamu boleh nginap atau tunggu disini dulu. ", tiba-tiba seorang wanita keluar dari kamarnya. Ia menawarkan kepada Rum untuk menginap, karena tau dia tadi pergi dari penginapan Mawar itu.

***

    "Buk, boleh Rum tanya, sebenarnya penginapan Mawar itu apa Bu? Jangan-jangan rumah hantu ya Bu?", tanya Rum kepada sesosok wanita yang mempunyai warung yang telah menolongnya tadi.

    "Susah dijelaskan, Nak.", jawab ibu itu sambil menyuguhkan kopi kepada Rum. 

    Waktu malam di Lebong tidak seperti di Jakarta. Pukul sembilan sampai sepuluh malam, orang-orang harus segera memasuki rumahnya. Daerah ini merupakan daerah terpencil yang agak sepi. Di sekeliling desa tidak jauh bertemu dengan hutan-hutan yang ditanami sengon atau kopi.

    "Makasih banyak, ya Bu. Saya nggak tahu harus bilang apa ke Ibu." kata Ruminten.

    "Sama-sama Nak. Sebetulnya Nak Rum bukan yang pertama saya tolong. Sudah banyak orang yang menginap di penginapan itu dan akhirnya berhasil kabur. Jaman dahulu pas anak dan cucunya masih disitu, bahkan ada yang meninggal disitu Mbak."

    Mak deg! Kesal sekali rasanya Rum kepada Santos. Kenapa dia mencarikan penginapan yang seperti itu tanpa mengecek dahulu latar belakangnya. Awas kalau besok sampai kantor lagi, kukerjain!, gumam Ruminten dalam hati.   

Post a Comment