Ganti Judul dan ALt sendiri

Ruminten (Episode 2)

   

 Siang itu, Ruminten masih terduduk di kursinya. Waktu sudah tidak menunjukkan jam menerima layanan kepada tamu yang datang. Pintupun akan segera ditutup. Satpam kantornya itu, bersiap menuju pintu di depan kantornya. Sebelumnya, Mas Ican menegurnya, "Mbak Rum, jangan melamun terus. Enggak bagus siang-siang melamun, Mbak." Jus buah naga yang ia pesan dari Eni pun belum juga diminumnya. Sesaat sebelum pintu layanan ditutup, Ruminten keluar kantornya dan menuju kebun samping yang sebagian masih berupa tanah. Tampak dari tempat Ruminten berdiri, pepohonan yang masih berwana hijau dan sesekali kicauan burung liar khas daerah yang dekat dengan hutan. Tampak juga rumah-rumah warga di dekat kantornya yang rata-rata hanya bertutupkan seng. 

    Tak lama kemudian, Rum kembali ke dalam ruang pelayanan dan membiarkan satpam untuk segera menutup pintu. Namun, satpam justru membuntuti Ruminten dari belakang lalu menanyakan hal yang sering kali ia tanyakan.

    "Mbak, kenapa di buang lagi jusnya? Nggak mubadzir to Mbak?", tanya satpam kepada Ruminten.

    "Udah, tiap hari kayak gitu kok ditanyain terus to Mas, mas. Udah biarin aja, Mas. Aku lagi malas minum jus itu lagi?", jawab Rum.

    "Mbak, tapi kalau gini terus nanti protes yang lain. Bisa bisa kantor kita kayak kuburan, tiap hari disirami jus warna merah. Untung saja bukan darah hewan.", gumam satpam dalam hati karena tidak berani menyanggah pertanyaan Ruminten, wanita asal Bantul yang mengepalai kantor kecil di kota kecil daerah Bengkulu tersebut.

    Setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan Rum, ia bergeas untuk kembali pulang. Ya, ia tidak ingin kehujanan lagi seperti kemarin. Bersepeda motor melewati persimpangan Kepahiang dan melewati jalan berliku terkadang membuat bulu romanya bergidik. Meskipun ia sebetulnya bisa meminta tolong kepada sopir dan mengantarnya dengan mobil, ia tidak mau memanfaatkan fasilitas itu. Ruminten terkenal kurang percayaan dengan orang lain. Semenjak suaminya meninggal, ia jadi sangat penyendiri dan membatasi meminta bantuan kepada orang lain.

 ***

    "Assalamualaykum,", kata pertama yang Rum ucapkan sebelum ia memasuki kontrakannya. Diletakkannya tas, HP, dan sepatunya di tempat biasa. Dan kembali bergeas ke halaman belakang untuk mandi dan menunaikan kewajibannya. Terkadang terpikirkan, kenapa ia bersusah-susah mengambil rumah khas desa Ujan Mas tersebut. Ya, rumah yang ia tempati betul-betul rumah khas asli Suku Rejang. Hanya berjarak beberapa meter dari kamar mandinya itu, pemandangan hutan sudah tampak dengan jelas. Nyali Ruminten memang tiada duanya. Ia tidak mudah percaya dengan kata-kata teman sekantornya, tenang hewan buas, perampok. Ah, itu hanya jaman dulu, katanya. Sekarang sudah era modern, ia tak takut apapun.

    Sekembalinya ke kamar tidur, sebuah telepon berdering dari temannya. Baru saja ia ingin menyantap lemea, pemberian dari Pak Cik siang tadi. Sudah terbayang di kepalanya rasanya memakan nasi hangat dengan citarasa ikan berbaur rebung yang difermentasi. Tetapi, telepon itu telah merusak imajinasinya. Kelelahan Ruminten selepas bekerja sebenarnya membuatnya malas berhubungan dengan siapapun. Kalau tidak begitu penting, ia malas untuk mengangkatnya. Tapi, nama kontaknya sudah terpampang jelas, Pak Arya, salah satu pengusaha kopi yang ia kenal sejak dia bekerja di Bengkulu dahulu. Mau tidak mau harus ia angkat, karena takutnya masalah pekerjaan.

    "Selamat malam , Mbak Rum. Maaf mengganggu istirahatnya ya Mbak."

    "Oh iya Pak, Nggak apa-apa. Ada apa nggih Pak?"

    "Mbak Rum, besok ada waktu senggang? Saya mau mampir ke kantor sebentar ya, sekitar pukul 13.30 saja Mbak. Atau kalau Mbak Rum mau, kita ketemu di Rumah Makan Pat Petulai aja gimana  Mbak?"

    Hmm. Rupanya Pak Arya mengajak bertemu. Ruminten bingung harus menjawab apa. Sebetulnya ia sedang malas bertemu dengan orang-orang itu. Ingatan akan kematian suaminya seakan kembali muncul di hadapannya. Ia sudah pergi dari Bengkulu, menjauhi danau Dendam Tak Sudah, tapi kenapa tetap saja banyak orang mencarinya. Sebenarnya apa mau mereka, gumam ruminten dalam hati. Namun, tak lama kemudia, ia telah memutuskan.

    "Baik Pak, akan saya usahakan untuk bertemu di Rumah Makan Pat Petulai, besok siang, ya. Besok pagi saya kabari lagi."

14 comments

  1. Wah, bikin bertanya-tanya sebenarnya kenapa suaminya Ruminten.

    ReplyDelete
  2. jus warna merah tuh jus buah naga kah kak?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haduh, sebenarnya nggak plek ketiplek warna merah yaa Kak jus buah naga, tp yg mendekati laah

      Delete
  3. Nama ruminten itu bikin menarik sekali walau sosoknya misterius hahahha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehee iyaa Kak. terinspirasi dari reels Raminten yg lagi ngehits

      Delete
  4. Rum kerja di kantor pajak?

    Suaminya kenapa ituh mb?

    ReplyDelete
  5. Kasihan mba rumi nya suaminya meninggal ya kak, ditunggu episode selanjutnya kak,hehehe

    LG UNITE

    ReplyDelete